Salah satu wejangan klasik dan selalu mujarab di setiap kondisi adalah “keluarlah dari zona nyamanmu” hal ini meskipun senantiasa diulang-ulang namun nilai kebijaksanaan yang dia bawa tidak berkurang sedikitpun.

Sebelum memulai segalanya, perlu untuk mengawali dengan mengenal apakah itu zona nyaman, seringkali kita mendengar terma zona nyaman namun masih belum tergambar dengan lebih nyata mengenainya. Bacaan-bacaan yang telah Men’s Stream telaah yang membahas mengenai zona nyaman mengumpulkan 3 hal yang sama, yaitu (1) perceived condition, (2) autopilot, dan (3) minimal stress and anxiety. 3 hal ini sedikitnya adalah hal yang menggambarkan mengenai zona nyaman yang apabila dirangkum dan disusun menjadi sebuah kalimat pengertian maka menjadi: zona nyaman adalah kondisi yang dipersepsikan oleh seseorang yang di dalam kondisi itu tingkat stress dan kegelisahan rendah dan bersifat autopilot.

Kondisi yang dipersepsikan memiliki arti bahwa kondisi zona nyaman tidaklah mutlak, zona nyaman A dan B berbeda meskipun memiliki banyak kesamaan. Zona nyaman mengalami keragaman sebab perbedaan pengalaman tiap-tiap perorangan, seorang peranakan Kawah Ijen yang setiap harinya berkebutuhan untuk mengangkuti bebatuan dari kawah menuju pemukiman tentu persepsinya akan zona nyaman berbeda dengan seorang peranakn Surabaya yang setiap harinya mendapat tugas kuliah untuk mereview bahan bacaan.

Autopilot berarti kondisi yang dijalani secara sendirinya dapat terlaksana, seseorang yang dalam perjalanan pulang ke rumah dari tempat nongkrong favoritnya akan melalui perjalanan secara autopilot, seseorang yang sudah terlatih mengemudi mobil ketika mengemudi berada dalam kondisi autopilot, begitu pula kepada dokter yang telah banyak memeriksa dan mendiagnosa pasien maka akan dalam kondisi autopilot: sama-sama menjalaninya dengan biasa, tidak excited, tidak stress, biasa, normal, mengalir begitu saja. Kondisi autopilot ini merupakan akibat dari tingkat stress dan kegelisahan yang rendah.

Zona nyaman adalah zona yang telah tergambar di atas, adapun sejatinya zona nyaman tetap dibutuhkan sebab zona nyaman ini tempat untuk punggung bersandar, bahu dilunakkan, untuk mengisi ulang energi dan kekuatan... namun kemampuan zona nyaman menjadi tempat untuk mengisi ulang energi dan kekuatan hanyalah terjadi apabila energi telah terkuras pasca berkutat di zona tidak nyaman, apabila energi seseorang penuh namun tetap berkutat di zona nyamannya maka keletihanlah yang justru akan menerpa, bukan keletihan fisik, melainkan keletihan kemauan untuk menggerakkan fisik dan merangsang pemikiran untuk “menggodok” diri di luar zona nyaman.

Ketika seseorang keluar dari zona nyamannya memang benar kadar kegelisahan dan stress akan meningkat, hal yang biasanya dapat auto-pilot kini tidak lagi bisa auto-pilot sehingga seseorang harus mengerahkan konsentrasi dan energi lebih banyak ketika berada di luar zona nyaman, di sinilah yang menjadi penentu seseorang lebih dari sekadar kekuatan fisik dan ketekunan berpemikiran; yang lebih menentukan adalah kekuatan jiwa yang akan memutuskan apakah diri seseorang tetap dibawa di luar zona nyaman ataukah mengundurkan diri dan pulang kembali ke zona nyaman. Seseorang yang terlalu lama dalam zona nyamannya akan dibisiki dengan bisikan-bisikan yang menipu seperti “sudahlah kamu kembali saja, kamu sudah terlalu lelah, kamu harus mengisi kembali tenaga” dan semacamnya, apabila ia terpengaruh maka sebenarnya dia telah melewatkan kesempatan untuk lolos dari ujian.

Ujian atau kondisi di luar zona nyaman ini ada untuk dilewati yang apabila seseorang mampu melewatinya maka dia akan tumbuh dan mengalami perkembangan. Seorang raja yang melakukan ekspansi terhadap wilayah yang belum ia kuasai ia akan mengalami hal yang sedikit banyak sama dengan seseorang yang keluar dari zona nyamannya: kegelisahan, stress, dilema berkecamuk, kemauan dihancurkan, semangat direndahkan, semua hal diuji namun raja yang terbaik akan tetap menghadapi tantangan dan melewati rintangan maka setelah berhasilnya dia melakukan ekspansi yang dia peroleh adalah... wilayah baru! Sejenis dengan seseorang yang keluar dari zona nyaman maka yang ia peroleh adalah...... perluasan zona nyaman. Kita pasti akan lebih merasa percaya diri dalam kehidupan apabila menguasai 15 skill daripada 4 skill, sebelum menguasai skill tertentu maka sejatinya skill itu di luar zona nyaman dan setelah menguasai maka ia menjadi zona nyaman kita, tentu tidak hanya skill yang merupakan cakupan dari zona nyaman namun juga kebiasaan-kebiasaan ataupun gaya hidup semisal dari yang tak pernah beribadah menjadi tekun beribadah sebagaimana tuntunan agama, dari yang tak pernah olahraga menjadi penggemar olahraga, dari yang malas belajar menjadi penggemar belajar.

Seluruh proses di luar zona nyaman apabila berhasil dilalui akan berbuah terhadap perkembangan yang secara nyata dapat dirasakan oleh seseorang. Yang dibutuhkan adalah kekuatan jiwa, fisik, dan pemikiran agar mampu memperoleh ketahanan dalam menghadapi benturan-benturan yang akan ditemui di luar zona nyaman. Tapi bukankah pemandangan puncak gunung menjadi sangat indah sebab dalam perjalanan penuh dengan perjuangan?

Seorang pria yang baik berbeda dengan seorang yang baik dalam menjadi seorang pria, It is different between being a good man and good at being man. Terlihat sederhana karena hanya dalam penyusunan kata namun memiliki perbedaan yang cukup mendasar karena masing-masing keduanya memiliki orientasi yang berbeda dalam membangun diri menjadi seorang pria.

A brief explanation about this: being a good man is not enough, it is needed to good at being a man.

Being a good man atau menjadi pria yang baik adalah memilik sifat-sifat yang virtuous atau bijak, penuh kasih sayang, tidak mengambil yang bukan miliknya, jujur, baik hati, berbakti kepada kedua orang tua, dan nilai-nilai lain yang benar dari sisi tradisi, kultur, etika, moral, atau/dan agama yang dianut. Pria yang baik dapat dilihat pada seorang ayah yang mencintai anaknya, seorang suami yang tidak menyakiti istrinya, atau seorang guru yang murah hati.

Good at being a man atau baik dalam menjadi seorang pria adalah memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam menjalankan peran-peran seorang pria dalam kehidupannya. Baik dalam menjadi seorang pria dalam beberapa hal tidak terkait dengan etika dan moral namun lebih terkait pada bagaimana seorang laki-laki dapat menjalankan perannya sebagai seorang pria sebagai orang yang melindungi, orang yang mampu bereproduksi, dan orang yang mampu memenuhi kebutuhan atau Protect, Procreate, Provide. Seseorang yang baik dalam menjadi seorang pria dapat dilihat pada seorang ayah yang mampu menggendong anaknya dengan berlari ke rumah sakit, seorang suami yang mampu membela diri dari perampok yang membobl rumahnya, atau seorang guru yang mampu membuat seorang penculik jatuh sehingga gagal menculik muridnya.

Hal yang menarik adalah (dan sedkit ironi) adalah banyak laki-laki melawan orang-orang seperti yakuza, mafia, gangster, bandit dan semacamnya namun film-film yang favorit terutama bagi para laki-laki adalah film seperti The Godfather tentang mafia Italia, Fight Club yang tokoh utamanya bisa dikatakan sebagai teroris, di Indonesia ada dengan The Raid dan tokoh yang ngetop adalah Mad Dog yang merupakan antagonis di film itu, video game yang terkenal adalah Hitman yang merupakan pembunuh bayaran begitu juga Assassin’s Creed. Kita bisa mengatakan “ya mereka tidak baik, mereka tidak sepatutnya menempuh jalan seperti itu” namun susah bagi kita untuk mengatakan bahwa Don Corleone, Tyler Durden, Mad Dog, Agent 47, Ezio Auditore, dan tokoh-tokoh lain adalah laki-laki yang “tidak manly”, susah sekali, seakan ada suara di dalam diri kita yang mewakili sisi primal seorang laki-laki yang mengakui bahwa mereka manly, they are good at being a man.

Benarlah bahwa orang-orang yang good at being a man tidak selamanya good man, pun sebaliknya. Problematikanya adalah di era modern ini dengan orang-orang yang tersirami dan terarahkan dengan moralitas adalah yang hidup dalam kenyamanan era modern sehingga sedikit banyak mempengaruhi proporsi laki-laki di mana “good man but not good at being a man” menjadi lebih sedikit dari “not good man who good at being a man” yang oleh karenanya good man yang not good at being a man dalam posisinya terkucil dan terpuruk padahal good man dibutuhkan dalam masyarakat agar dapat menjadi pengarah dalam masyarakat ini ke arah yang lebih baik...... namun kalah oleh mereka yang “not good man who good at being a man”.

Oleh sebab itu, Kamu, yang sekarang membaca ini, yang Kami yakin bahwa Kamu adalah seorang good man, tidak cukup untuk sekadar menjadi good man. Kamu bisa saja memiliki nilai etika bahwa seorang laki-laki harus melindungi perempuan namun tanpa dibekali kemampuan fisik prima, bela diri, dan keahlian taktikal maka nilai etika itu akan kehilangan relevansinya. Bisa saja seorang laki-laki beranggapan bahwa dia harus berkontribusi aktif di masyarakat namun jika dia tidak memiliki keahlian juga menjadi sebuah problematika. Menjadi good man memang diperlukan namun tanpa good at being a man ia tidak dapat menjalankan peran dan fungsinya sebagai seorang pria secara maksimal dan tidak dapat diandalkan dalam situasi-situasi krisis semisal ketika rumah kemasukan pencuri maka good man yang not good at being a man bisa jadi malah pingsan dipukul pencuri (yang bisa jadi dia lebih baik dalam menjadi seorang pria) dan syukur-syukur kalau hanya barangnya yang hilang kalau istri dan anaknya diperkosa maka yang berbekas hanya apalah kecuali penyesalan?

Sebelum terlambat maka mulailah membangun diri untuk baik dalam menjadi seorang pria. Buat orang sekitarmu merasa aman dengan kehadiranmu, karena siapa tahu di suatu titik gelap orang-orang yang not good man who good at being a man menginvasi dan menyerang Kamu dan orang-orang sekitarmu....... dan Kamu menang melawan mereka!

Sebenarnya sederhana saja alasan mengapa seorang laki-laki perlu untuk hidup dalam “code of manhood” sebab dengan “the codes” atau rambu-rambu ini laki-laki dapat hidup memaksimalkan potensialnya secara keseluruhan. “Code of manhood” berhasil membawakan orang-orang yang memegangnya teguh dalam posisi atas dunianya, meskipun dunianya hanya sekecil rumah tangganya. Tidak ada presiden yang dalam hidupnya senantiasa being a couch potato, tidak ada CEO yang kesehariannya nonton film seharian, tidak ada pahlawan yang dalam kehidupan hariannya hunting cewek atau cabe-cabean sambil pamer ke teman-teman “eh ini cewek kemarin habis esek sama aku”. Mereka, laki-laki yang berada di posisi atas dunianya, the men adalah yang sibuk berkontribusi dan berupaya untuk itu. Hidup mereka lebih tentang hal-hal di luar diri mereka namun anehnya justru itu yang membuat diri mereka menjadi lebih penuh, “sempurna”, tangguh, berkharisma lebih dari teman-temannya yang tidak memegang “code of manhood”.

Adapun bentuknya beragam namun tujuannya sama. To be a man. To be a male who lives his life at his full potential.

Manliness atau kepriaan adalah kontras dari childishness atau keanak-anakan sehingga dalam membangun kualitas seorang laki-laki perlu untuk mengeliminasi karakter-karakter yang khas anak kecil atau kalau dalam kultur Indonesia, terkadang pria dilawankan dengan kata “cowok”. Karakter yang khas cowok tentu terlampau banyak untuk dibahas satu per satu namun apabila dikumpulkan dan kemudian diperas seluruhnya maka ada satu karakter yang berkembang darinya karakter-karakter yang lain atau dalam kata lain, karakter ini adalah core/inti dari kecowokan maupun dari kepriaan. Men: create more, consume less. Boys: create less, consume more.

Masa kecil seorang laki-laki penuh dengan konsumsi: mau makan tinggal ambil, mau pergi kemana-mana akan diantar, mau baju dibiayai orang tua, ngerengek ingin jam tangan bagus kemudian dibelikan. Hidup anak kecil itu sederhana: konsumsi, pasif, dan berpusat pada pencarian kesenangan, live just for fun. Hal ini tetap terbawa –bahkan dikhawatirkan terinternalisasi lebih dalam– seiring pertambahan usia seorang laki-laki meskipun pada di usia yang lebih besar ketergantungan tidak lagi pada orang tua (meskipun masih banyak sekali yang tergantung pada orang tua) namun ketergantungan itu bergeser kepada hal-hal yang dikonsumsi: makanan, minuman, video game, media sosial, film, pesta hura-hura, tempat tongkrongan. Kehidupan tetap terfokus pada untuk hiburan dan kesenangan, kehidupan yang dijalani hanya untuk dirinya sendiri, self-centered, selfish life.

Pria atau man bukan berarti tidak mampu menikmati makanan, minuman, video game, dan hiburan yang menjadi fokus utama cowok namun pria tidak cukup berhenti di situ. Pria hidup untuk tujuan yang lebih tinggi. Ketika para cowok membangun identitasnya berdasarkan apa yang mereka konsumsi: “aku orang keren sebab tongkronganku kedai kopi mahal, pakaianku impor, handphoneku canggih” dan semacamnya, maka pria membangun identitasnya berdasarkan apa yang mereka buat, apa yang mereka ciptakan: “ini karyaku, ini bisnisku, ini hasil seniku, ini buah kehidupanku, dan inilah yang menjadikan aku: aku”.

Kegagalan seorang laki-laki untuk menjalani transisi dari seorang cowok yang ahli belanja dan konsumsi menjadi seorang pria yang hidup untuk mencipta memiliki empat akibat yang meredupkan manliness atau kepriaan dalam diri seorang laki-laki:

1. lemahnya kebebasan seorang laki-laki menentukan hidupnya

Laki-laki memiliki hasrat kuat untuk merasakan bahwa kehidupannya di bawah kendalinya sehingga ia dapat mengarahkan kehidupannya ke arah manapun yang dia mau. Kultur konsumsi atau konsumerisme mengetahui hasrat ini dan memberikannya jawaban dengan memberikan seorang laki-laki banyak hal untuk dinikmati agar seorang laki-laki dapat merasakan bahwa hidupnya dalam kendalinya, laki-laki dapat memperoleh kebebasan.

Kebebasan ala konsumerisme ini sejatinya ilusi, hal ini seperti kamu ketika bermain video game seperti The Sims, kamu disediakan pilihan untuk memodel karaktermu sedemikian rupa namun pilihan itu sudah ditentukan. Konsumerisme membatasi laki-laki untuk memilih hanya dalam pilihan yang telah disediakan dan ajaibnya laki-laki merasakan dengan memilih itu ia memperoleh kebebasan dalam menentukan hidupnya padahal hidupnya lah yang telah ditentukan melalui pilihan yang disediakan.

2. keperluan untuk menciptakan tertekan

Setiap laki-laki punya hasrat untuk menjadi sang pencipta, untuk mengubah keadaan, untuk menjadikan dunia ladang karyanya dan mewariskan suatu peninggalan. Era modern ini berhasil dalam menanamkan pesan bahwa usia setelah 30 atau pernikahan adalah usia yang tidak akan terasa di dalamnya kebahagiaan dan kesenangan sebab pada usia setelah 30 atau setelah pernikahan seorang laki-laki perlu untuk berhenti egois dan mulai hidup untuk orang lain. Ada suatu hal yang terluput, yaitu justru dengan hidup dengan kultur penuh konsumsi lah kebahagiaan menemui jalan buntu dan memasuki siklus pencarian kesenangan melalui konsumsi yang tidak pernah berhenti.
Ketika seorang laki-laki mengkonsumsi memang itu akan memberikannya  kesenangan atau hiburan yang tinggi namun apabila ia senantiasa mengkonsumsi hal itu akan membuat kepekaannya akan kesenangan pudar sedikit demi sedikit sehingga perlu konsumsi yang lebih intens dan banyak agar memperoleh kondisi kesenangan tinggi itu kembali. Siklus ini akan tetap berjalan seiring laki-laki itu mengkonsumsi terus-menerus.

3. melemahnya kedisiplinan dan komitmen

Konsumerisme menekankan pada pilihan seperti misalnya untuk menyelesaikan suatu video game namun konsumerisme tidak pernah peduli tentang apa yang harus dilakukan setelah memilih kecuali kembali menawarkan dan “memerintah” untuk memilih pilihan selanjutnya. Seorang penggemar video game bisa saja menjabarkan ribuan pelajaran moral akan permainan yang ia telah mainkan namun setelah itu apa? Ya kembali memainkan game berikutnya. Hal ini membuat laki-laki yang hidup dengan kultur konsumsi akan lemah dalam kedisiplinan dan mengalami keengganan bahkan ketakutan akan komitmen sedangkan hal yang diperlukan dalam perjuangan menuju “kesempurnaan” adalah keberanian dalam berkomitmen dan disiplin yang kuat.

4. teralihnya dari apa yang benar-benar penting

Ada terma yang disebut “pleasurable discomfort”, yaitu perasaan tidak nyaman ketika ekspektasi tidak sesuai dengan realita sehingga seseorang berusaha untuk menghilangkan rasa tidak nyaman itu dengan mengusahakan agar realita itu memenuhi ekspektasi. Hal ini bisa jadi buruk atau baik tergantung dari keadaan yang melingkupinya. Keterkaitan antara “pleasurable discomfort” dan konsumerisme adalah dari sisi yang akan Men’s Stream jelaskan.

Kultur konsumsi yang kuat dalam diri seorang laki-laki menjadikannya memiliki hasrat kuat atas produk atau pengalaman yang mampu memberikannya kesenangan atau hiburan yang selama ini laki-laki itu inginkan. Adapun produk yang dikonsumsi selalu memberikan kepuasan yang tidak sesuai yang diharapkan, ekspektasi melebihi realita. Kesenjangan inilah menyebabkan rasa tidak nyaman tersebut atau “pleasurable discomfort”. Ketika hal ini dirasakan, seorang laki-laki tidak akan berhenti untuk mengkonsumsi, justru ia akan memburu produk-produk lain yang diduga dapat memberikannya kepuasan yang sesuai dengan yang dia harapkan namun kepuasan di tingkat yang sama itu tidak pernah tercapai sehingga seorang laki-laki dengan kultur konsumsi akan terfokus bagaimana mencari hal yang dapat dikonsumsi untuk memperoleh kepuasan yang ia harapkan.

Terfokusnya laki-laki yang mengalami hal ini membuat hal-hal yang lebih penting terabaikan, laki-laki yang terfokus ini tidak peduli terhadap kesenjangan antara kondisi dirinya dengan kondisi apa yang seharusnya dia miliki.

Keempat hal inilah yang menjadi akibat apabila seorang laki-laki gagal dalam transisinya dari seorang anak kecil/cowok menjadi seorang pria. Solusi untuk lepas dari kegagalan transisi dan keempat hal akibatnya adalah dengan mulai menciptakan, mulai memproduksi, mulai membuat, mulai berkarya.

Suatu perbuatan dalam bentuk penciptaan, produksi, karya akan mengubah suatu hal dalam lingkungan yang kelak akan mentransformasi seorang laki-laki. Penciptaan akan membentuk seorang laki-laki menjadi seorang pria, menajamkan kepekaan, meningkatkan kekuatan, menajamkan konsentrasi, dan membangun karakter. Konsumsi dan pasif membuat diri seorang tidak tersentuh dan tidak berubah. Adapun produktivitas atau penciptaan akan melahirkan kekuatan.

Penciptaan atau kreasi memiliki ragam model dan bentuk, model dan bentuk ini tidak harus dilaksanakan semuanya namun bisa jadi opsi dalam mengembangkan kualitas diri seorang laki-laki sebagai pria. Contoh paling tradisional adalah melakukan banyak karya dalam pekerjaan, menciptakan kehidupan penuh kasih sayang dengan pasangan dan teman, dan mempunyai anak. Adapun jalan lain juga bisa ditempuh semisal memberikan pelayanan terhadap komunitas yang diminati maupun menggeluti hobi seperti melukis, memahat, memasak, berbisnis, public speaking, menulis, dan aktif dalam proses perpolitikan, pun aktif dalam menciptakan kehidupan yang secara spiritual. Pilihan untuk berkarya tidak memiliki batas.

Seorang pria memiliki peran aktif dalam dunia, memberikan pengaruh sehingga meninggalkan hasil kreasi dirinya untuk dunia. The real man create more, consume less. Sekarang giliranmu untuk create, dunia menunggumu.

Perspektif merupakan cara pandang, perspektif itu beragam, dalam melihat manliness atau kepriaan juga memiliki ragam perspektif. Umumnya, untuk mempermudah pemahaman akan sesuatu maka perlu dihadirkan lawan dari sesuatu itu, dalam hal ini ada dua asumsi mengenai lawan dari manliness yang dari masing-masing asumsi ini akan dibangun karakteristik manliness yang berbeda. Dua asumsi itu adalah (1) womanliness sebagai lawan dari manliness dan (2) childishness sebagai lawan dari manliness.

Asumsi pertama: womanliness atau kewanitaan sebagai lawan dari manliness menjadikan karakteristik manliness yang terbangun adalah model manliness yang lebih terfokus kepada hal-hal luaran. Apabila manliness dilawankan dengan womanliness maka perlu menentukan hal-hal yang lakik banget dengan melihat dari pengalaman perempuan: apabila perempuan menikmati atau mengerjakan berulangkali hal tersebut maka hal itu akan dianggap tidak lakik atau tidak jantan atau tidak manly. Menjahit, merajut, memasak, menyapu, mencuci piring, memomong bayi akan menjadi korban dengan dianggap sebagai hal yang tidak manly.

Asumsi kedua: childishness sebagai lawan dari manliness adalah asumsi yang dibangun di atasnya –menurut berbagai pengamat manliness– karakter-karakter manliness yang sepatutnya diperjuangkan. Terdapat sebab mengapa manliness seharusnya dipandang sebagai lawan dari childishness, yaitu manliness yang terbangun akan berfokus terhadap pembangun karakter pribadi: nilai-nilai yang dianut, prinsip, dan keteguhan dalam memperjuangkan dalam menjadi pria atau man atau yang diistilahkan dengan inward development atau perkembangan dari dalam diri. Selain itu, manliness yang terbangun juga tidak akan melupakan kemampuan-kemampuan luaran atau outward development yang dapat digunakan untuk menjalankan peran seorang pria yang telah terbangun oleh inward development tadi. Contohnya, anak kecil adalah sosok yang membutuhkan perlindungan maka pria adalah kebalikannya: ia memberikan perlindungan, seorang laki-laki yang berjuang untuk menjadi pribadi yang mampu melindungi dengan menanamkan karakter seperti resiliensi/ketahanan, kecekatan dalam menghadapi tantangan, ketenangan menghadapi krisis, hal-hal ini adalah inward development, kemudian seorang laki-laki akan menyadari bahwa tidak cukup hanya dengan karakter ia dapat melindungi orang yang ia kasihi, ia memerlukan kemampuan bela diri, kemampuan untuk membenarkan atap rumah, kemampuan untuk bertahan hidup di luar rumah, pemahaman akan listrik dan apa yang harus dilakukan ketika ada hal darurat, dan berbagai hal yang merupakan kemampuan luaran dan hal ini adalah outward development. Keduanya ini adalah target dan karakteristik dari manliness yang dibangun di atas dasar asumsi bahwa manliness atau kepriaan adalah lawan dari childishness atau keanak-anakan.

Men’s Stream dalam seluruh tulisan mengenai kepriaan akan menggunakan pendekatan yang kedua sebab pendekatan kedua inilah yang dapat menghasilkan pria atau man yang lebih baik. Kita tidak pernah menyebut laki-laki yang tidak bertanggung jawab dan suka hanya bermain-main dengan “dasar kamu wanita!” melainkan “dasar kamu seperti anak kecil saja!” yang hal ini secara alam bawah sadar kita lakukan membuktikan bahwa sejatinya kita melihat kepriaan sebagai lawan dari kekanakan namun kita justru membingkai dalam alam sadar kita bahwa kepriaan sebagai lawan dari kewanitaan yang dalam hal ini menjadikan laki-laki memandang wanita sebagai sesuatu yang inferior.
Padahal, baik laki-laki ataupun perempuan perlu memiliki karakteristik inward dan outward yang berkualitas tinggi dalam berkehidupan meskipun pada prosesnya laki-laki dan perempuan menempuh jalan pengalaman dan pembelajaran untuk menjadi pria sejati dan wanita sejati yang berbeda sehingga hasilnya pun berbeda. Brett McKay, seorang pengamat manliness, menganalogikan bahwa laki-laki dan perempuan yang mengejar perbaikan diri itu bagaikan satu lembar musik dengan notasi yang sama namun dimainkan dengan instrumen yang berbeda: hasilnya berbeda namun bukan berarti yang satu lebih baik dari yang lainnya bahkan keduanya dibutuhkan agar menjadi harmoni dalam tatanannya.

So, kesimpulannya, manliness atau kepriaan seharusnya dipandang sebagai lawan dari childishness atau keanak-anakan sebab pandangan ini akan membangun manliness yang berorientasi perkembangan terutama pada kualitas internal diri seorang laki-laki tanpa melupakan kualitas eksternal tentunya yang berubah dari anak kecil yang hidup selalu membutuhkan menjadi pria yang hidup siap dibutuhkan. Jadi, mulailah kembangkan dirimu sebagai pria dari hal ini dan jadilah pria, dunia menunggumu!

Selamat datang di sebuah –kami menyebutnya– kawah yang serupa dengan kawah candradimuka yang digunakan oleh Tutuka yang digembleng hingga menjadi Gatotkaca. Men’s Stream secara harfiah berarti arus pria atau aliran pria yang memang dengan nama ini diharapkan Men’s Stream dapat menjadi tempat lelaki menempa diri menjadi seorang pria yang berkehidupan lebih maksimal dengan jalan yang telah ditunjukkan oleh para pendahulu dari era yang sangat kuno hingga di era modern ini. Mengapa tidak dinamakan Stream of Men padahal artinya sama? Sebab Men’s Stream memiliki kesamaan bunyi dengan kata “mainstream”, hal ini disengaja sebagai simbol akan dua hal: 1. Men’s Stream itu berbeda dengan mainstream, 2. Men’s Stream kelak menggantikan hal yang kini mainstream sehingga Men’s Stream menjadi mainstream.

Sesuai dengan gambar, bahwasannya ada perbedaan antara “fate” dan “destiny” yang keduanya diterjemahkan di Bahasa Indonesia menjadi “takdir”. Perbedaan “fate” dan “destiny” adalah “fate” merupakan kondisi yang melingkupi seseorang ketika dia dilahirkan adapun “destiny” adalah kondisi yang dipilih seseorang untuk menjadi bagian kehidupannya. Menetapkan suatu hal sebagai “destiny” kita memiliki konsekuensi untuk menghadirkan perjuangan dalam mencapai hal tersebut yang terkadang dalam usaha meraihnya dengan menghadapi dunia yang menghalanginya. “Destiny” lebih tinggi dan berbobot dari “fate” dari sisi bahwa ada unsur pilihan dan perjuangan di dalamnya.

Terlahir sebagai seorang laki-laki dengan berbagai potensi biologis yang besar merupakan suatu “fate” namun menjadi seorang pria/man membutuhkan lebih dari sekadar “batang”, “bola”, “kecebong”, dan testosteron. It needs more to be a man. Menjadi seorang pria tidak luput dari mispersepsi yang menghalangi laki-laki untuk berproses menjadi seorang pria, salah satu mispersepsi itu seperti ini: “menjadi seorang pria itu tidak perlu pakai belajar-belajar segala apalagi cuma via akun LINE, baca di internet, sudah nanti bakal bisa jadi pria sendiri seiring berjalannya waktu”. Mispersepsi ini sedikit banyak mempengaruhi laki-laki sehingga lebih enggan untuk belajar menjadi seorang pria ditambah lagi dengan gengsi karena menganggap bahwa apabila dirinya belajar menjadi seorang pria maka itu adalah suatu hal yang rendahan dan sangat bukan pria. Men’s Stream akan menjelaskan mengapa persepsi itu tidak benar.

Penelitian antropologi dan budaya mengenai kultur-kultur kepriaan/manliness atau maskulinitas di berbagai belahan wilayah dunia dan berbagai masa memperlihatkan bahwa tidak ada laki-laki yang secara otodidak menjadi seorang pria, setiap laki-laki yang berproses menjadi pria tidak pernah sendirian. Di era pra-modern (dengan kita asumsikan era modern dimulai ketika rennaisance), kepriaan/manliness diajarkan melalui suku/tribes atau perkampungan lokal/village bahkan pada era itu menjadi penting untuk seorang laki-laki terlibat dalam lokalitas agar memperoleh pengakuan akan eksistensi dirinya sebagai pria yang hal ini di era modern kehilangan relevansinya, meskipun demikian, di era modern menjadi seorang laki-laki tetap memerlukan mentor setidaknya satu orang dan komunitas/kelompok setidaknya satu kelompok untuk membimbingnya menjadi pria.

Soekarno, dengan H.O.S. Tjokroaminoto sebagai mentor dan dengan kos Peneleh dengan teman-teman sejawatnya seperti Semaoen, Kartosuwiryo, dan kawan-kawan lain sebagai komunitas, mengantarkan Soekarno sebagai sosok dengan kondisi fisik prima, gagasan pemikiran cemerlang, dan pergerakan yang mapan sebagai perjuangan bangsanya meraih kemerdekaan. That’s a man. Mohammad Hatta tanpa berhimpun dengan pemuda-pemuda asal Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan wilayah jajahan Belanda lain ketika dikuliahkan ke Belanda sebagai komunitas, barangkali Mohammad Hatta yang kita kenal gagasannya yang luar biasa tidak akan lahir. That’s a man.
Sebut pria luar biasa manapun yang dapat kamu jadikan sebagai sosok teladan dan periksalah biografinya, tidak akan ada yang “selalu sendiri tanpa mentor tanpa kelompok” dalam perjalanannya, setidaknya ada satu fase hidupnya yang ditempa oleh sang mentor dan bergerak dalam kelompok meskipun pada tahap berikutnya dia memilih untuk menyendiri dalam memaksimalkan kualitas dirinya sebagai seorang pria.

Mentor dan komunitas diperlukan setidaknya satu yang dapat ditemui langsung. Mentor bisa jadi Bapak, Guru, Ustadz, Kyai, Coach, dan bahkan satpam komplek perumahan atau kampus juga bisa. Komunitas bisa jadi dengan teman sekampus, sekantor, sesekolah, sekampung, seperumahan, atau bikin sendiri dengan orang-orang baru dikenal yang punya minat sama juga tidak mengapa. Adapun tambahannya tidak mengapa mengambil mentor dan komunitas via online, di internet terdapat berbagai situs yang mampu menjadi rujukan untuk membangun diri menjadi seorang pria, dan Men’s Stream adalah salah satu upaya untuk itu sebab jarang sekali terdengar di Indonesia ini yang peduli dengan hal seperti ini.

Jadi, mulailah berproses, sebab menjadi seorang pria adalah “destiny” yang diperlukan pilihan dan perjuangan untuk meraihnya. Dunia membutuhkan pria terbaik agar menjadi lebih sejahtera, meskipun dunia itu hanya sebatas keluarga sendiri saja namun lebih baik daripada hanya menjadi benalu bagi orang lain dan masyarakat. Selamat datang di Men’s Stream! Selamat memulai perjalanan!