To Create is To Grow

by 10.44 0 komentar

Manliness atau kepriaan adalah kontras dari childishness atau keanak-anakan sehingga dalam membangun kualitas seorang laki-laki perlu untuk mengeliminasi karakter-karakter yang khas anak kecil atau kalau dalam kultur Indonesia, terkadang pria dilawankan dengan kata “cowok”. Karakter yang khas cowok tentu terlampau banyak untuk dibahas satu per satu namun apabila dikumpulkan dan kemudian diperas seluruhnya maka ada satu karakter yang berkembang darinya karakter-karakter yang lain atau dalam kata lain, karakter ini adalah core/inti dari kecowokan maupun dari kepriaan. Men: create more, consume less. Boys: create less, consume more.

Masa kecil seorang laki-laki penuh dengan konsumsi: mau makan tinggal ambil, mau pergi kemana-mana akan diantar, mau baju dibiayai orang tua, ngerengek ingin jam tangan bagus kemudian dibelikan. Hidup anak kecil itu sederhana: konsumsi, pasif, dan berpusat pada pencarian kesenangan, live just for fun. Hal ini tetap terbawa –bahkan dikhawatirkan terinternalisasi lebih dalam– seiring pertambahan usia seorang laki-laki meskipun pada di usia yang lebih besar ketergantungan tidak lagi pada orang tua (meskipun masih banyak sekali yang tergantung pada orang tua) namun ketergantungan itu bergeser kepada hal-hal yang dikonsumsi: makanan, minuman, video game, media sosial, film, pesta hura-hura, tempat tongkrongan. Kehidupan tetap terfokus pada untuk hiburan dan kesenangan, kehidupan yang dijalani hanya untuk dirinya sendiri, self-centered, selfish life.

Pria atau man bukan berarti tidak mampu menikmati makanan, minuman, video game, dan hiburan yang menjadi fokus utama cowok namun pria tidak cukup berhenti di situ. Pria hidup untuk tujuan yang lebih tinggi. Ketika para cowok membangun identitasnya berdasarkan apa yang mereka konsumsi: “aku orang keren sebab tongkronganku kedai kopi mahal, pakaianku impor, handphoneku canggih” dan semacamnya, maka pria membangun identitasnya berdasarkan apa yang mereka buat, apa yang mereka ciptakan: “ini karyaku, ini bisnisku, ini hasil seniku, ini buah kehidupanku, dan inilah yang menjadikan aku: aku”.

Kegagalan seorang laki-laki untuk menjalani transisi dari seorang cowok yang ahli belanja dan konsumsi menjadi seorang pria yang hidup untuk mencipta memiliki empat akibat yang meredupkan manliness atau kepriaan dalam diri seorang laki-laki:

1. lemahnya kebebasan seorang laki-laki menentukan hidupnya

Laki-laki memiliki hasrat kuat untuk merasakan bahwa kehidupannya di bawah kendalinya sehingga ia dapat mengarahkan kehidupannya ke arah manapun yang dia mau. Kultur konsumsi atau konsumerisme mengetahui hasrat ini dan memberikannya jawaban dengan memberikan seorang laki-laki banyak hal untuk dinikmati agar seorang laki-laki dapat merasakan bahwa hidupnya dalam kendalinya, laki-laki dapat memperoleh kebebasan.

Kebebasan ala konsumerisme ini sejatinya ilusi, hal ini seperti kamu ketika bermain video game seperti The Sims, kamu disediakan pilihan untuk memodel karaktermu sedemikian rupa namun pilihan itu sudah ditentukan. Konsumerisme membatasi laki-laki untuk memilih hanya dalam pilihan yang telah disediakan dan ajaibnya laki-laki merasakan dengan memilih itu ia memperoleh kebebasan dalam menentukan hidupnya padahal hidupnya lah yang telah ditentukan melalui pilihan yang disediakan.

2. keperluan untuk menciptakan tertekan

Setiap laki-laki punya hasrat untuk menjadi sang pencipta, untuk mengubah keadaan, untuk menjadikan dunia ladang karyanya dan mewariskan suatu peninggalan. Era modern ini berhasil dalam menanamkan pesan bahwa usia setelah 30 atau pernikahan adalah usia yang tidak akan terasa di dalamnya kebahagiaan dan kesenangan sebab pada usia setelah 30 atau setelah pernikahan seorang laki-laki perlu untuk berhenti egois dan mulai hidup untuk orang lain. Ada suatu hal yang terluput, yaitu justru dengan hidup dengan kultur penuh konsumsi lah kebahagiaan menemui jalan buntu dan memasuki siklus pencarian kesenangan melalui konsumsi yang tidak pernah berhenti.
Ketika seorang laki-laki mengkonsumsi memang itu akan memberikannya  kesenangan atau hiburan yang tinggi namun apabila ia senantiasa mengkonsumsi hal itu akan membuat kepekaannya akan kesenangan pudar sedikit demi sedikit sehingga perlu konsumsi yang lebih intens dan banyak agar memperoleh kondisi kesenangan tinggi itu kembali. Siklus ini akan tetap berjalan seiring laki-laki itu mengkonsumsi terus-menerus.

3. melemahnya kedisiplinan dan komitmen

Konsumerisme menekankan pada pilihan seperti misalnya untuk menyelesaikan suatu video game namun konsumerisme tidak pernah peduli tentang apa yang harus dilakukan setelah memilih kecuali kembali menawarkan dan “memerintah” untuk memilih pilihan selanjutnya. Seorang penggemar video game bisa saja menjabarkan ribuan pelajaran moral akan permainan yang ia telah mainkan namun setelah itu apa? Ya kembali memainkan game berikutnya. Hal ini membuat laki-laki yang hidup dengan kultur konsumsi akan lemah dalam kedisiplinan dan mengalami keengganan bahkan ketakutan akan komitmen sedangkan hal yang diperlukan dalam perjuangan menuju “kesempurnaan” adalah keberanian dalam berkomitmen dan disiplin yang kuat.

4. teralihnya dari apa yang benar-benar penting

Ada terma yang disebut “pleasurable discomfort”, yaitu perasaan tidak nyaman ketika ekspektasi tidak sesuai dengan realita sehingga seseorang berusaha untuk menghilangkan rasa tidak nyaman itu dengan mengusahakan agar realita itu memenuhi ekspektasi. Hal ini bisa jadi buruk atau baik tergantung dari keadaan yang melingkupinya. Keterkaitan antara “pleasurable discomfort” dan konsumerisme adalah dari sisi yang akan Men’s Stream jelaskan.

Kultur konsumsi yang kuat dalam diri seorang laki-laki menjadikannya memiliki hasrat kuat atas produk atau pengalaman yang mampu memberikannya kesenangan atau hiburan yang selama ini laki-laki itu inginkan. Adapun produk yang dikonsumsi selalu memberikan kepuasan yang tidak sesuai yang diharapkan, ekspektasi melebihi realita. Kesenjangan inilah menyebabkan rasa tidak nyaman tersebut atau “pleasurable discomfort”. Ketika hal ini dirasakan, seorang laki-laki tidak akan berhenti untuk mengkonsumsi, justru ia akan memburu produk-produk lain yang diduga dapat memberikannya kepuasan yang sesuai dengan yang dia harapkan namun kepuasan di tingkat yang sama itu tidak pernah tercapai sehingga seorang laki-laki dengan kultur konsumsi akan terfokus bagaimana mencari hal yang dapat dikonsumsi untuk memperoleh kepuasan yang ia harapkan.

Terfokusnya laki-laki yang mengalami hal ini membuat hal-hal yang lebih penting terabaikan, laki-laki yang terfokus ini tidak peduli terhadap kesenjangan antara kondisi dirinya dengan kondisi apa yang seharusnya dia miliki.

Keempat hal inilah yang menjadi akibat apabila seorang laki-laki gagal dalam transisinya dari seorang anak kecil/cowok menjadi seorang pria. Solusi untuk lepas dari kegagalan transisi dan keempat hal akibatnya adalah dengan mulai menciptakan, mulai memproduksi, mulai membuat, mulai berkarya.

Suatu perbuatan dalam bentuk penciptaan, produksi, karya akan mengubah suatu hal dalam lingkungan yang kelak akan mentransformasi seorang laki-laki. Penciptaan akan membentuk seorang laki-laki menjadi seorang pria, menajamkan kepekaan, meningkatkan kekuatan, menajamkan konsentrasi, dan membangun karakter. Konsumsi dan pasif membuat diri seorang tidak tersentuh dan tidak berubah. Adapun produktivitas atau penciptaan akan melahirkan kekuatan.

Penciptaan atau kreasi memiliki ragam model dan bentuk, model dan bentuk ini tidak harus dilaksanakan semuanya namun bisa jadi opsi dalam mengembangkan kualitas diri seorang laki-laki sebagai pria. Contoh paling tradisional adalah melakukan banyak karya dalam pekerjaan, menciptakan kehidupan penuh kasih sayang dengan pasangan dan teman, dan mempunyai anak. Adapun jalan lain juga bisa ditempuh semisal memberikan pelayanan terhadap komunitas yang diminati maupun menggeluti hobi seperti melukis, memahat, memasak, berbisnis, public speaking, menulis, dan aktif dalam proses perpolitikan, pun aktif dalam menciptakan kehidupan yang secara spiritual. Pilihan untuk berkarya tidak memiliki batas.

Seorang pria memiliki peran aktif dalam dunia, memberikan pengaruh sehingga meninggalkan hasil kreasi dirinya untuk dunia. The real man create more, consume less. Sekarang giliranmu untuk create, dunia menunggumu.

Unknown

Developer

Cras justo odio, dapibus ac facilisis in, egestas eget quam. Curabitur blandit tempus porttitor. Vivamus sagittis lacus vel augue laoreet rutrum faucibus dolor auctor.

0 komentar:

Posting Komentar